Sunday, April 5, 2015

cerpen



Kesombongan mendatangkan permusuhan  
Oleh : Nur Uzwah Sulyati
Hari penerimaan rapor adalah hari yang paling menegangkan bagi semua siswa di kelas, terutama di kelas ini. Tak hanya menegangkan, tapi juga membuat penasaran. Namun, setelah penerimaan rapor, hari liburpun menanti. Setelah libur, kami kembali masuk sekolah dan tahun ajaran barupun dimulai. Saat itu aku tidak mendapat peringkat.
Hari pertama masuk sekolah adalah hari yang sangat menyenangkan bagi semua pelajar dan hari yang paling didambakan oleh semua siswa, tapi bagiku tidak sama sekali. Aku merasakannnya biasa saja. Saat itu aku duduk di kelas 3 SD.
Di kelas itu, aku memiliki banyak teman dengan karakter yang masing-masing berbeda. Ada yang baik, ada juga yang tidak baik. Hal yang paling kubenci di dalam kelas ketika harus bertemu dengan klub iblis, alasanku memberi nama  anggota itu iblis karena semuanya sombong dan menyebalkan.
“Hei kalian semua, berikan kami tempat duduk paling depan untuk kami, sisanya kalian boleh            duduk paling belakang !” Kata mereka dengan sombongnya.
Saat itu aku sangat jengkel mendengarnya, hampir saja aku membuat perhitungan karenanya. Namun, Indah menasihatiku supaya tidak terjadi hal yang tidak didinginkan. Dia memang salah satu teman dekatku yang selalu menasihatiku setiap kali aku ingin berbuat sesuatu.
        “Sudahlah, jangan pikirkan itu, biarlah mereka begitu.” Kata Indah kepadaku.
        “Baiklah, ayo kita cari tempat duduk yang lain saja.” Kataku sambil menarik tangan Indah.
        “Ayo.” Jawab Indah.
Setelah aku dan Indah menemukan tempat duduk, kami berdua bergegas keluar kelas untuk berkumpul bersama dengan teman lainnya. Di koridor kelas kami saling bercerita berbagi pengalaman liburan. Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi.
 “Kring-kring-kring.”
Semua muridpun berhamburan masuk ke dalam kelas, tak sabar untuk menerima pelajaran. Setelah kami semua sudah berada di dalam kelas dan duduk rapi, Ibu Riapun segera masuk ke dalam kelas.
        “Assalamualaikum anak-anak.” Kata Bu Ria dengan lembut.
        “Waalaikum salam Bu.” Jawab kami semua serentak.
Setelah itu Bu Ria melakukan perkenalan pada kami tentang tahun ajaran baru ini.
“Perhatian anak-anak, mulai saat ini yang menjadi wali kelas kalian semua adalah Ibu, jadi ibu harap kalian semua dapat menerima ibu.” Kata Bu Ria dengan jelas.
“Baik Bu.” Jawab kami semua.
“Nah, untuk itu kita akan megadakan pemilihan ketua kelas, setuju?” Kata Bu Ria dengan nada suara yang ramah.
“Setuju BU,” jawab kami semua.
“Siapa yang akan mencalonkan diri untuk menjadi ketua kelas , bagi yang bersedia  acungkan tangannya.” Kata Bu Ria.
Saat itu banyak yang mengacungkan tangannya, termasuk aku.
        “Saya Bu.” Kataku dengan bersemangat.
Banyak teman mendukungku, bahkan memberiku semangat.
        “Ayo Uswah semangat, kami semua mendukungmu.” Kata teman-temanku.
Tapi tak semuanya, karena sebagian diancam jika tetap mendukungku. Karena, hanya sedikt temanku yang mendukungku, akhirnya aku kalah. Tapi aku tetap semangat menerimanya. Tak lama kemudian bel berbunyi, tanda waktunya pulang sekolah.  Kami semuapun bersalaman dengan Ibu Ria dan pulang ke rumah dengan jalan kaki bersama teman-teman.
Beberapa hari kemudian, proses belajar mengajar berlangsung normal, hari itu aku belajar Agama Islam. Namun, di tengah proses belajar mengajar tiba-tiba Ibu Hasna mendapat panggilan rapat guru. Akhirnya Bu Hasnapun bergegas pergi ke ruang guru. Namun, sebelum itu Bu Hasna menitipkan pesan kepada Fatma untuk mencatat nama orang yang ribut dan berkeliaran pada secarik kertas.
“Perhatian semua, Ibu akan pergi ke ruang guru untuk menghadiri rapat para guru. Jadi Ibu harap tidak ada yang berkeliaran.” Kata Bu Hasna dengan tegas.
        “Baik Bu.” Jawab kami semua.
“Ya bu, menurutku sebaiknya saya catat di papan tulis saja. Supaya nanti jika ibu datang langsung deh ibu lihat.” Jawab Fatma sambil memberikan saran kepada Bu Hasna.
        “Ya terserah kau saja.” Kata Bu Hasna.
Setelah itu Bu Hasnapun bergegas ke ruang guru. Namun, setelah Bu Hasna keluar kelas. Bukannya melanjutkan tugas, eh dia malah memanggil semua temannya yang menyebalkan untuk berdiri ke depan papan tulis dan menulis yang tidak-tidak. Saat itu, aku berbalik ke belakang untuk bertanya kepada Putri setelah itu aku kembali menulis. Saat aku menulis, tak kusangka namaku telah dicatat di papan tulis. Melihat itu aku tidak terima dengan semua itu. Jelas-jelas aku tidak bersalah, aku tidak  berbuat apa-apa. Tapi, kenapa namaku tercatat di papan tulis dengan keterangan ribut.
“Hei kalian semua, atas alasan apa kalian menulis namaku di papan tulis dengan keterangan ribut. Masih dendamkah kalian denganku pada waktu itu?” Jawabku dengan nada suara marah. 
“Sudah jelas-jelas kamu balik ke belakang, masih aja munafik.” Kata Suci dengan nada sombong.
“Aku memang berbalik ke belakang hanya untuk bertanya kepada Putri, setelah itu sudah. Aku tidak ribut.” Kataku.
“Benar kata Uswah, dia sebenarnya tidak bersalah sudah hapus saja namanya.” Kata Nur membelaku.
Teman-teman yang lain juga membelaku. Akibatnya, terjadilah pedebatan. Tiba-tiba Bu Hasna datang, dalam sekejab suasana di kelas menjadi sunyi dan yang menulis di papan tulis kembali duduk ke tempat duduknya, kecuali Fatma.  Dan saat itu juga Bu Hasna langsung melihat daftar nama yang dicatat di papan tulis.
“Bagaimana Fatma, coba ibu lihat semua  nama yang kamu catat.” Kata Bu Hasna dengan nada tak sabaran.
        “ Ini bu, silahkan.” Kata Fatma.
“Wah ternyata banyak yang ribut dan berkeliaran. Sekarang biar ibu cubit dan lipat tangannya.” Katanya dengan tegas.
Mendengar itu aku jadi deg-degan. Tiba waktunya namaku, Bu Hasna langsung mencubit dan melipat jari tanganku. Rasanya sakit sekali setelah aku di cubit dan jari tanganku dilipat, sampai-sampai aku tak bisa menulis gara-gara tak bisa menahan sakit.
        “Aduh, bagaimana ini, aku tak bisa menulis. Tanganku sakit nih.” Kataku pada Indah.
        “Kamu nggak bisa nulis, kalau nggak bisa nanti liat catatanku aja.” Kata Indah menghiburku.
        “Makasih yah Indah.” Kataku dengan senang.
        “Ya, sama-sama.”Jawab Indah.
Tak lama kemudian bel berbunyi, bertanda  pulang. Kami semuapun membereskan buku dan salam kepada bu guru lalu bergegas keluar kelas.
        “Kring-kring-krring.” Bel  tanda pulang berbunyi.
        “Ayo kita pulang.” Ajak Indah padaku.
“Tapi aku belum mau pulang karena aku ingin melanjutkan masalah tadi, kamu duluan saja yah.” Jawabku.
“Baiklah, tapi kamu yakin tidak mau pulang sekarang?” Tanyanya agak ragu.
“Tenang aja Indah, aku akan selesaikan masalah ini sendiri. Aku yakin.” Jawabku dengan yakin.
“Kalau begitu aku duluan yah, takut ketinggalan ama rombongan. Dah” Katanya dari jauh.
Aku melambaikan tanganku pada Indah, setelah itu aku langsung menghampiri geng yang menyebalkan itu.
“Hei, kalian semua masalah yang tadi ingin aku lanjutkan.” Kataku dengan tegas layaknya anak laki-laki.
“Mau apa kamu, masih mau berhadapan dengan kami?” Balasnya dengan nada suara yang menantang.
Karena mereka masih berada di dalam kelas, maka aku langsung mengajak salah satu dari mereka untuk berkelahi. Akhirnya kamipun berkelahi, saling pukul, saling tendang, bahkan saling tarik rambut. Pertengkaran terus terjadi hingga akhirnya salah satu dari mereka mengancam untuk memberitahu guru, akibatnya aku langsung mengambil tasku dan segera pulang.
        “Beraninya kau!” Kataku sambil menampar pipi Tia.
        “Hei”. Tiba-tiba Tia membalas tamparanku. Namun, berhasil aku tangkis.
“H…h.. ,kalau begitu rasakan ini.” Tanpa basa-basi Tia langsung menendangku hingga aku jatuh ke lantai. Rasanya lumayan sakit.
        “Rasakan ini juga.” aku menendang balik Tia hingga terjatuh juga.
Kemudian dia langsung menarik rambutku, dan aku juga menarik rambutnya dan begitulah seterusnya. Sampai ada yang mengancamku untuk memberitahuakan hal ini kepada guru. Seketika aku langsung melepas tarikan rambut Tia dan mengambil tas lalu pergi.
Di tengah perjalanan pulang aku bertemu dengan Arif dan Ardi, di tengah perjalanan kami berbincang-bincang. Tak kusangka mereka tahu kejadian yang barusan. Seketika aku kaget.
        “Eh Uswah tadi kamu bertengkar lagi yah sama mereka?” Tanya Arif kepadaku.
        “ Hah, kok kamu bisa tau?” Tanyaku dengan heran pada Arif.
        “Gimana nggak tahu, orang tadi kita nungguin sambil liatin kamu di depan.” Jawab Ardi.
        “ oh gitu.” Kataku dengan pasrah.
        “ Eh siapa yang menang?” Tanya Ardi padaku.
        “Gak ada yang menang.” Jawabku dengan nada suara jengkel.
        “Kenapa?” Tanya Arif kepadaku.
        “Kalian gak usah tau.” Jawabku.
Tak terasa rumahku sudah dekat, aku memutuskan untuk berpisah dengan Arif dan Ardi karena kami berbeda jurusan.
        “Eh kalian berdua,aku duluan yah soalnya rumahku sudah dekat nih.” Kataku kepada mereka berdua.
        “Yaudah hati-hatiyah.” Kata mereka berdua secara bersamaan.
        “Yoai.” Kataku sambil melambaikan tangan kepada mereka berdua.
Sesampainya di rumah aku langsung mengobati lukaku. Saat yang sama aku juga memikirkan kejadian yang terjadi besok.
Keesokan paginya aku datang ke sekolah dengan diantar oleh bapakku, setelah aku bersalaman dengan bapak, aku lalu bergegas menuju ke kelas. Di dalam kelas tak kusangka Tia dan teman-temannya sudah datang dan menungguku. Saat itu aku merasa kaget. Aku pun segera menghampirinya.
“Ada urusan apa kalian menungguku dari tadi?” Tanyaku sok sibuk, namun dalam hati was-was.
“Tau nggak kami semua ke sini?” Bertanya balikpadaku dengan raut muka marah .
Saat itu jantungku berdebar sangat kencang. Aku terdiam sejenak.
        “Apa yang akan ia lakukan yah padaku?” Tanyaku dalam hati?
“Memangnya untuk apa?” Tanyaku lagi.
Beberapa lama raut wajah Tia berubah menjadi sedih, dan ia tiba-tiba memelukku.
“Uswah, aku minta maaf telah menendangmu kemarin dan aku juga minta maaf karena selama ini aku sombong padamu.” Ucapnya dengan penuh sesal.
Alangkah bahagianya aku mendengar ucapan itu. Aku langsung membalas pelukannya.
        “Aku sudah memaafkanmu sejak kemarin.” Jawabku sambil melepas pelukannya.
        “Terima kasih, karena kamu telah memaafkanku.” Kata Tia kepadaku.
Ia tersenyum kepadaku dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Setelah saat itu, hubungan kami sekelas menjadi akrab dan kompak, serta tidak ada lagi tindakan diskriminasi diantara kami semua.  
  
   


0 comments:

Post a Comment