Kesombongan
mendatangkan permusuhan
Oleh : Nur Uzwah
Sulyati
Hari penerimaan
rapor adalah hari yang paling menegangkan bagi semua siswa di kelas, terutama
di kelas ini. Tak hanya menegangkan, tapi juga membuat penasaran. Namun,
setelah penerimaan rapor, hari liburpun menanti. Setelah libur, kami kembali
masuk sekolah dan tahun ajaran barupun dimulai. Saat itu aku tidak mendapat
peringkat.
Hari pertama masuk
sekolah adalah hari yang sangat menyenangkan bagi semua pelajar dan hari yang
paling didambakan oleh semua siswa, tapi bagiku tidak sama sekali. Aku
merasakannnya biasa saja. Saat itu aku duduk di kelas 3 SD.
Di kelas itu, aku
memiliki banyak teman dengan karakter yang masing-masing berbeda. Ada yang
baik, ada juga yang tidak baik. Hal yang paling kubenci di dalam kelas ketika
harus bertemu dengan klub iblis, alasanku memberi nama anggota itu iblis karena semuanya sombong dan
menyebalkan.
“Hei kalian semua,
berikan kami tempat duduk paling depan untuk kami, sisanya kalian boleh duduk paling belakang !” Kata
mereka dengan sombongnya.
Saat itu aku sangat
jengkel mendengarnya, hampir saja aku membuat perhitungan karenanya. Namun,
Indah menasihatiku supaya tidak terjadi hal yang tidak didinginkan. Dia memang
salah satu teman dekatku yang selalu menasihatiku setiap kali aku ingin berbuat
sesuatu.
“Sudahlah, jangan pikirkan itu, biarlah
mereka begitu.” Kata Indah kepadaku.
“Baiklah, ayo kita cari tempat duduk
yang lain saja.” Kataku sambil menarik tangan Indah.
“Ayo.” Jawab Indah.
Setelah aku dan
Indah menemukan tempat duduk, kami berdua bergegas keluar kelas untuk berkumpul
bersama dengan teman lainnya. Di koridor kelas kami saling bercerita berbagi
pengalaman liburan. Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi.
“Kring-kring-kring.”
Semua muridpun
berhamburan masuk ke dalam kelas, tak sabar untuk menerima pelajaran. Setelah
kami semua sudah berada di dalam kelas dan duduk rapi, Ibu Riapun segera masuk
ke dalam kelas.
“Assalamualaikum anak-anak.” Kata Bu Ria
dengan lembut.
“Waalaikum salam Bu.” Jawab kami semua
serentak.
Setelah itu Bu Ria
melakukan perkenalan pada kami tentang tahun ajaran baru ini.
“Perhatian
anak-anak, mulai saat ini yang menjadi wali kelas kalian semua adalah Ibu, jadi
ibu harap kalian semua dapat menerima ibu.” Kata Bu Ria dengan jelas.
“Baik Bu.” Jawab
kami semua.
“Nah, untuk itu kita
akan megadakan pemilihan ketua kelas, setuju?” Kata Bu Ria dengan nada suara
yang ramah.
“Setuju BU,” jawab
kami semua.
“Siapa yang akan
mencalonkan diri untuk menjadi ketua kelas , bagi yang bersedia acungkan tangannya.” Kata Bu Ria.
Saat itu banyak yang
mengacungkan tangannya, termasuk aku.
“Saya Bu.” Kataku dengan bersemangat.
Banyak teman
mendukungku, bahkan memberiku semangat.
“Ayo Uswah semangat, kami semua
mendukungmu.” Kata teman-temanku.
Tapi tak semuanya,
karena sebagian diancam jika tetap mendukungku. Karena, hanya sedikt temanku
yang mendukungku, akhirnya aku kalah. Tapi aku tetap semangat menerimanya. Tak
lama kemudian bel berbunyi, tanda waktunya pulang sekolah. Kami semuapun bersalaman dengan Ibu Ria dan
pulang ke rumah dengan jalan kaki bersama teman-teman.
Beberapa hari
kemudian, proses belajar mengajar berlangsung normal, hari itu aku belajar
Agama Islam. Namun, di tengah proses belajar mengajar tiba-tiba Ibu Hasna
mendapat panggilan rapat guru. Akhirnya Bu Hasnapun bergegas pergi ke ruang
guru. Namun, sebelum itu Bu Hasna menitipkan pesan kepada Fatma untuk mencatat
nama orang yang ribut dan berkeliaran pada secarik kertas.
“Perhatian semua,
Ibu akan pergi ke ruang guru untuk menghadiri rapat para guru. Jadi Ibu harap
tidak ada yang berkeliaran.” Kata Bu Hasna dengan tegas.
“Baik Bu.” Jawab kami semua.
“Ya bu, menurutku
sebaiknya saya catat di papan tulis saja. Supaya nanti jika ibu datang langsung
deh ibu lihat.” Jawab Fatma sambil memberikan saran kepada Bu Hasna.
“Ya terserah kau saja.” Kata Bu Hasna.
Setelah itu Bu
Hasnapun bergegas ke ruang guru. Namun, setelah Bu Hasna keluar kelas. Bukannya
melanjutkan tugas, eh dia malah memanggil semua temannya yang menyebalkan untuk
berdiri ke depan papan tulis dan menulis yang tidak-tidak. Saat itu, aku
berbalik ke belakang untuk bertanya kepada Putri setelah itu aku kembali
menulis. Saat aku menulis, tak kusangka namaku telah dicatat di papan tulis.
Melihat itu aku tidak terima dengan semua itu. Jelas-jelas aku tidak bersalah,
aku tidak berbuat apa-apa. Tapi, kenapa
namaku tercatat di papan tulis dengan keterangan ribut.
“Hei kalian semua,
atas alasan apa kalian menulis namaku di papan tulis dengan keterangan ribut.
Masih dendamkah kalian denganku pada waktu itu?” Jawabku dengan nada suara
marah.
“Sudah jelas-jelas
kamu balik ke belakang, masih aja munafik.” Kata Suci dengan nada sombong.
“Aku memang berbalik
ke belakang hanya untuk bertanya kepada Putri, setelah itu sudah. Aku tidak
ribut.” Kataku.
“Benar kata Uswah,
dia sebenarnya tidak bersalah sudah hapus saja namanya.” Kata Nur membelaku.
Teman-teman yang
lain juga membelaku. Akibatnya, terjadilah pedebatan. Tiba-tiba Bu Hasna
datang, dalam sekejab suasana di kelas menjadi sunyi dan yang menulis di papan
tulis kembali duduk ke tempat duduknya, kecuali Fatma. Dan saat itu juga Bu Hasna langsung melihat
daftar nama yang dicatat di papan tulis.
“Bagaimana Fatma,
coba ibu lihat semua nama yang kamu
catat.” Kata Bu Hasna dengan nada tak sabaran.
“ Ini bu, silahkan.” Kata Fatma.
“Wah ternyata banyak
yang ribut dan berkeliaran. Sekarang biar ibu cubit dan lipat tangannya.”
Katanya dengan tegas.
Mendengar itu aku
jadi deg-degan. Tiba waktunya namaku, Bu Hasna langsung mencubit dan melipat
jari tanganku. Rasanya sakit sekali setelah aku di cubit dan jari tanganku
dilipat, sampai-sampai aku tak bisa menulis gara-gara tak bisa menahan sakit.
“Aduh, bagaimana ini, aku tak bisa
menulis. Tanganku sakit nih.” Kataku pada Indah.
“Kamu nggak bisa nulis, kalau nggak bisa
nanti liat catatanku aja.” Kata Indah menghiburku.
“Makasih yah Indah.” Kataku dengan
senang.
“Ya, sama-sama.”Jawab Indah.
Tak lama kemudian
bel berbunyi, bertanda pulang. Kami
semuapun membereskan buku dan salam kepada bu guru lalu bergegas keluar kelas.
“Kring-kring-krring.” Bel tanda pulang berbunyi.
“Ayo kita pulang.” Ajak Indah padaku.
“Tapi aku belum mau
pulang karena aku ingin melanjutkan masalah tadi, kamu duluan saja yah.”
Jawabku.
“Baiklah, tapi kamu
yakin tidak mau pulang sekarang?” Tanyanya agak ragu.
“Tenang aja Indah,
aku akan selesaikan masalah ini sendiri. Aku yakin.” Jawabku dengan yakin.
“Kalau begitu aku
duluan yah, takut ketinggalan ama rombongan. Dah” Katanya dari jauh.
Aku melambaikan tanganku
pada Indah, setelah itu aku langsung menghampiri geng yang menyebalkan itu.
“Hei, kalian semua
masalah yang tadi ingin aku lanjutkan.” Kataku dengan tegas layaknya anak
laki-laki.
“Mau apa kamu, masih
mau berhadapan dengan kami?” Balasnya dengan nada suara yang menantang.
Karena mereka masih
berada di dalam kelas, maka aku langsung mengajak salah satu dari mereka untuk
berkelahi. Akhirnya kamipun berkelahi, saling pukul, saling tendang, bahkan
saling tarik rambut. Pertengkaran terus terjadi hingga akhirnya salah satu dari
mereka mengancam untuk memberitahu guru, akibatnya aku langsung mengambil tasku
dan segera pulang.
“Beraninya kau!” Kataku sambil menampar
pipi Tia.
“Hei”. Tiba-tiba Tia membalas tamparanku.
Namun, berhasil aku tangkis.
“H…h.. ,kalau begitu
rasakan ini.” Tanpa basa-basi Tia langsung menendangku hingga aku jatuh ke
lantai. Rasanya lumayan sakit.
“Rasakan ini juga.” aku menendang balik
Tia hingga terjatuh juga.
Kemudian dia
langsung menarik rambutku, dan aku juga menarik rambutnya dan begitulah
seterusnya. Sampai ada yang mengancamku untuk memberitahuakan hal ini kepada
guru. Seketika aku langsung melepas tarikan rambut Tia dan mengambil tas lalu
pergi.
Di tengah perjalanan
pulang aku bertemu dengan Arif dan Ardi, di tengah perjalanan kami
berbincang-bincang. Tak kusangka mereka tahu kejadian yang barusan. Seketika
aku kaget.
“Eh Uswah tadi kamu bertengkar lagi yah
sama mereka?” Tanya Arif kepadaku.
“ Hah, kok kamu bisa tau?” Tanyaku
dengan heran pada Arif.
“Gimana nggak tahu, orang tadi kita
nungguin sambil liatin kamu di depan.” Jawab Ardi.
“ oh gitu.” Kataku dengan pasrah.
“ Eh siapa yang menang?” Tanya Ardi
padaku.
“Gak ada yang menang.” Jawabku dengan
nada suara jengkel.
“Kenapa?” Tanya Arif kepadaku.
“Kalian gak usah tau.” Jawabku.
Tak terasa rumahku
sudah dekat, aku memutuskan untuk berpisah dengan Arif dan Ardi karena kami
berbeda jurusan.
“Eh kalian berdua,aku duluan yah soalnya
rumahku sudah dekat nih.” Kataku kepada mereka berdua.
“Yaudah hati-hatiyah.” Kata mereka
berdua secara bersamaan.
“Yoai.” Kataku sambil melambaikan tangan
kepada mereka berdua.
Sesampainya di rumah
aku langsung mengobati lukaku. Saat yang sama aku juga memikirkan kejadian yang
terjadi besok.
Keesokan paginya aku
datang ke sekolah dengan diantar oleh bapakku, setelah aku bersalaman dengan
bapak, aku lalu bergegas menuju ke kelas. Di dalam kelas tak kusangka Tia dan
teman-temannya sudah datang dan menungguku. Saat itu aku merasa kaget. Aku pun
segera menghampirinya.
“Ada urusan apa kalian
menungguku dari tadi?” Tanyaku sok sibuk, namun dalam hati was-was.
“Tau nggak kami
semua ke sini?” Bertanya balikpadaku dengan raut muka marah .
Saat itu jantungku
berdebar sangat kencang. Aku terdiam sejenak.
“Apa yang akan ia lakukan yah padaku?”
Tanyaku dalam hati?
“Memangnya untuk
apa?” Tanyaku lagi.
Beberapa lama raut
wajah Tia berubah menjadi sedih, dan ia tiba-tiba memelukku.
“Uswah, aku minta
maaf telah menendangmu kemarin dan aku juga minta maaf karena selama ini aku
sombong padamu.” Ucapnya dengan penuh sesal.
Alangkah bahagianya
aku mendengar ucapan itu. Aku langsung membalas pelukannya.
“Aku sudah memaafkanmu sejak kemarin.”
Jawabku sambil melepas pelukannya.
“Terima
kasih, karena kamu telah memaafkanku.” Kata Tia kepadaku.
Ia tersenyum kepadaku
dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Setelah saat itu, hubungan kami
sekelas menjadi akrab dan kompak, serta tidak ada lagi tindakan diskriminasi
diantara kami semua.
0 comments:
Post a Comment